Air Terjun Bidadari


Sungguh indah karunia sang pencipta, tidak jauh dari pusat kota Lahat terdapat sebuah desa bernama Desa Karang Dalam tepatnya di Kecamatan Pulau Pinang. Bagi yang hobi berpetualang sambil berwisata, Di Desa ini terdapat sebuah objek wisata pemandangan Air Terjun. Dulunya Lokasi wisata ini pernah digunakan sebagai tempat lokasi pengambilan gambar dan film Si Pahit Lidah yang merupakan cerita legenda rakyat Lahat. Untuk menuju air terjun ini dapat ditempuh dengan berjalan kaki lebih kurang 30 menit dari permukiman warga setempat.

Tampak di samping kiri adalah sebuah foto Air terjun Bidadari. Dengan ketinggian sekitar lebih kurang 30 meter, lebar atas sekitar 10 meter, dan lebar bawah sekitar 15 meter. Dan ditempat inilah kebanyakan orang yang mengadakan acara foto - foto dan sebagainya.


Air Terjun Bidadari terletak di desa Karang Dalam Kecamatan Pulau Pinang kurang lebih 8 km dari kota Lahat.

Disekitar lokasi Air Terjun tersebut, ada 3 Air Terjun (Air Terjun Bujang Gadis, Air Terjun Sumbing dan Air Terjun Naga) lagi yang dapat dinikmati dengan menyusuri aliran dari Air Terjun Bidadari.

ReadmoreAir Terjun Bidadari

Bukit Selero

Bukit Serelo terletak sekitar 20 km dari kota Lahat. Penduduk setempat menyebutnya Bukit Tunjuk, karena bentuk puncaknya yang mirip telunjuk yang mencuat ke langit.

Jika anda bepergian dari Muara Enim, menjelang 20 km memasuki kota Lahat, bukit itu terlihat jelas di sebelah kiri. Dibawahnya terdapat sebuah kompleks untuk menjinakkan, melatih dan mendidik gajah. Sekitar 40 ekor sudah dijinakkan di tempat ini, namun baru sebagian yang dapat diandalkan untuk para pengunjung. Anda dapat juga membuat foto dengan gajah-gajah itu. Tinggal berikan tip sebesar Rp. 5.000,- kepada pawang dan anda dapat berpose sepuasnya. Tidak menjadi soal apakah anda akan memotret untuk 1 roll film atau slide. Tetapi jangan lupa memberikan hadiah kepada gajah-gajah itu, berupa gula-gula, kacang dan sebagainya.

Dibeberapa tempat dibawah bukit terdapat beberapa tempat untuk berkemah atau rekreasi. Para pramuka dan anak-anak muda acapkali mengunjungi tempat-tempat itu. Sebuah sungai kecil dengan air yang jernih dan belum tercemar, dapat menyegarkan anda.
ReadmoreBukit Selero

Tari Madik (Nindai)


Masyarakat Palembang mempunyai kebiasaan apabila akan memilih calon menantu. Sang orangtua pria terlebih dahulu datang ke rumah seorang wanita dengan maksud melihat dan menilai (madik dan nindai) gadis yang dimaksud.

Hal yang dinilai atau ditindai itu, antara lain kepribadiannya serta kehidupan keluarganya sehari-hari. Dengan penindaian itu diharapkan bahwa apabila si gadis dijadikan menantu dia tidak akan mengecewakan dan kehidupan mereka akan berjalan langgeng sesuai dengan harapan pihak keluarga mempelai pria.
ReadmoreTari Madik (Nindai)

Tari tanggai

Tari tanggai dibawakan untuk menyambut tamu-tamu resmi atau dalam acara pernikahan.Umumnya tari ini dibawakan oleh lima orang dengan memakai pakaian khas daerah seperti kain songket, dodot, pending, kalung, sanggul malang, kembang urat atau rampai, tajuk cempako, kembang goyang, dan tanggai yang berbentuk kuku terbuat dari lempengan tembaga.

Tari ini merupakan perpaduan antara gerak yang gemulai dengan busana khas daerah. Tarian ini menggambarkan masyarakat Palembang yang ramah dan menghormati, menghargai serta menyayangi tamu yang berkunjung ke daerahnya.
Tari tanggai merupakan tarian persembahan yang ditujukan kepada tamu yang telah memenuhi undangan. Salah satunya adalah dipersembahkan pada acara perkawinan adat daerah Sumatera Selatan umumnya. Untuk menghormati tamu undangan yang ada serta tersirat ucapan selamat datang. Dengan diiringi lagu Gending Sriwijaya tarian tersebut disajikan membuat acara semakin semarak. Dengan kelenturan tangan dan lentiknya jemari penari menunjukan betapa tulusnya tuan rumah memberikan penghormatan.
Dahulu tarian ini pulalah yang selalu disajikan kepada tamu-tamu raja kerajaan Sriwijaya. Tidak hanya pada acara perkawinan saja, disetiap acarapun tarian ini sering dilakukan.

ReadmoreTari tanggai

Dul muluk

Dul muluk adalah teater tradisional yang berkembang di Sumatera Selatan. Konon seni pertunjukan ini bermulai dari syair Raja Ali Haji, sastrawan yang pernah bermukim di Riau. Nah, karya sang raja ini terkenal dan menyebar hingga Palembang.

Suatu hari, seorang pedagang keturunan Arab, Wan Bakar, membacakan syair tentang Abdul Muluk di sekitar rumahnya di Tangga Takat, 16 Ulu. Acara itu menarik minat masyarakat sehingga datang berkerumun. Agar lebih menarik, pembacaan syair kemudian disertai dengan peragaan oleh beberapa orang, ditambah iringan musik.

Pertunjukan itu mulai dikenal sebagai dul muluk pada awal abad ke-20. Pada masa penjajahan Jepang sejak tahun 1942, seni rakyat itu berkembang menjadi teater tradisi yang dipentaskan dengan panggung. Grup teater kemudian bermunculan dan dul muluk tumbuh dan digemari masyarakat.

Dalam dul muluk ada lakon, syair, lagu-lagu Melayu, dan lawakan. Lawakan, yang biasa disebut khadam, sering mengangkat dan menertawakan ironi kehidupan sehari- hari masyarakat saat itu.

Bentuk pementasan dul muluk serupa dengan lenong dari masyarakat Betawi di Jakarta. Akting di panggung dibawakan secara spontan dan menghibur. Penonton pun bisa membalas percakapan di atas panggung. Bedanya sudah pasti di bahasa yang digunakan. Kalau lenong menggunakan bahasa Betawi, dul muluk menggunakan bahasa Melayu dan bahasa Palembang.

Dul muluk biasanya dipentaskan setiap ada pesta pernikahan. Kadang kala dul muluk bisa diadakan semalam suntuk. Meski sempat kehilangan pamor, dul muluk kini kembali dilestarikan oleh generasi muda melalui pementasan di sekolah-sekolah.
ReadmoreDul muluk

Gending Sriwijaya


Gending Sriwijaya merupakan lagu dan tarian tradisional masyarakat Kota Palembang, Sumatera Selatan. Melodi lagu Gending Sriwijaya diperdengarkan untuk mengiringi Tari Gending Sriwijaya. Baik lagu maupun tarian ini menggambarkan keluhuran budaya, kejayaan, dan keagungan kemaharajaan Sriwijaya yang pernah berjaya mempersatukan wilayah Barat Nusantara.


Lirik Lagu Gending Sriwijaya

Di kala ku merindukan keluhuran dulu kala
Kutembangkan nyanyian lagu Gending Sriwijaya
Dalam seni kunikmat lagi bahagia Indonesia
Kuciptakan kembali dari kandungan Sang Maha Kala
Sriwijaya dengan Asrama Agung Sang Maha Guru
Tutur sabda Dharmapala satya Khirti dharma khirti
Berkumandang dari puncaknya Siguntang Maha Meru
Menaburkan tuntunan suci Gautama Buddha sakti.
[sunting] Tari Gending Sriwijaya

Tarian ini digelar untuk menyambut para tamu istimewa yang bekunjung ke daerah tersebut, seperti kepala negara Republik Indonesia, menteri kabinet, kepala negara / pemerintahan negara sahabat, duta-duta besar atau yang dianggap setara dengan itu.

Untuk menyambut para tamu agung itu digelar suatu tarian tradisional yang salah satunya adalah Gending Sriwijaya, tarian ini berasal dari masa kejayaan kemaharajaan Sriwijaya di Kota Palembang yang mencerminkan sikap tuan rumah yang ramah, gembira dan bahagia, tulus dan terbuka terhadap tamu yang istimewa itu.






Tarian Gending Sriwijaya digelarkan 9 penari muda dan cantik-cantik yang berbusana Adat Aesan Gede, Selendang Mantri, paksangkong, Dodot dan Tanggai. Mereka merupakan penari inti yang dikawal dua penari lainnya membawa payung dan tombak. Sedang di belakang sekali adalah penyanyi Gending Sriwijaya. Namun saat ini peran penyanyi dan musik pengiring ini sudah lebih banyak digantikan tape recorder. Dalam bentuk aslinya musik pengiring ini terdiri dari gamelan dan gong. Sedang peran pengawal kadang-kadang ditiadakan, terutama apabila tarian itu dipertunjukkan dalam gedung atau panggung tertutup. Penari paling depan membawa tepak sebagai Sekapur Sirih untuk dipersembahkan kepada tamu istimewa yang datang, diiringi dua penari yang membawa pridon terbuat dari kuningan. Persembahan Sekapur Sirih ini menurut aslinya hanya dilakukan oleh putri raja, sultan, atau bangsawan. Pembawa pridon biasanya adalah sahabat akrab atau inang pengasuh sang putri. Demikianlah pula penari-penari lainnya.

ReadmoreGending Sriwijaya